MENGGALI KEKAYAAN ASTRONOMI DALAM KEARIFAN LOKAL

Astronomi telah menjadi
bagian dari kehidupan masyarakat Sunda, Jawa, Lombok bahkan sampai ke timur
Indonesia di papua. Dalam pertemuan astroarkeologi yang dilaksanakan di
Observatorium Bosscha semua ini diungkapkan oleh para ahli sejarah, antropolog,
astronom dan budayawan.
Dalam kehidupan masyarakat
Jawa juga memiliki imajinasi akan bentuk-bentuk rasi seperti Waluku (Orion),
Wuluh (Pleaides), Kalapa Doyong (Scorpio), Sapi Gumarang (Taurus), dll. Tak
hanya berimajinasi, benda-benda langit ini juga diggunakan dalam kehidupan
sehari-hari sebagai penentu waktu bercocok tanam, sarana pemujaan, kalender, maupun
navigasi. Menurut Sobirin,
seorang pemerhati kehutanan dan lingkungan tata sunda, bintang di langit
seharusnya digunakan untuk pemulihan kawasan lindung di Indonesia.
Di masa lalu saat belum ada
kalender, masyarakat setempat telah menggunakan perbintangan untuk menentukan
siang dan malam, pasang surut air laut, berbunga dan berbuahnya tanaman, maupun
migrasi dan pembiakan hewan. Bagi mereka gejala alam adalah cerminan lintasan
waktu. Masyarakat di masa itu juga menentukan saat menanam dengan menggunakan
bambu yang diisi air untuk mengukur ketinggian bintang. Pada posisi tertentu
mereka akan bisa mengetahui apakah sudah saatnya memulai bercocok tanam atau
belum. Namun di kondisi saat ini apakah metode tersebut masih bisa digunakan?
Kondisi saat ini menunjukan
iklim sudah berubah, dan menyebabkan sebuah pertanyaan baru. Pada akhirnya
musim bercocok tanam pun mengalami pergeseran. Kapan kemarau dan kapan hujan
menjadi sebuah pertanyaan baru. Nah pada kondisi ini yang jadi masalah bukan
ketidakakuratan metode nenek moyang kita melainkan mengapa iklim bisa berubah.
Adakah kita turut andil dalam semua itu? Kondisi saat ini apakah merupakan
pergeseran alami ataukah kita juga mengambil bagian dalam pergeseran itu
melalui cara hidup kita?
Kalender boleh berubah namun
siklus mikro dan makro kosmos selalu tepat. Sebagai contoh, durian akan berbuah
ketika sapi gumarang ada di timur saat fajar menyingsing atau duku berbuah saat
gubug penceng ada di timur kala rembang petang. Inilah kearifan lokal yang
sudah mulai ditinggalkan ketika masyarakat modern berkembang dengan segala
teknologi dan kesibukannya. Nah kearifan lokal saat melihat bintang dengan
berbunganya tanaman akan sangat menarik untuk kita kembangkan sebagai bagian
untuk mengatasi kerusakan lingkungan. Bagaimana caranya ?
Dalam presentasi di Bosscha
tersebut, Sobirin mengajukan usulan untuk membuat hutan kota yang bisa
mengatasi juga masalah resapan air dan mengurangi dampak polusi. Sebagai
contoh, hutan flamboyan akan berbunga saat gubug penceng ada di timur kala
fajar menyingsing atau hutan bungur yang akan mulai berbunga kala banyak angrem
muncul di timur saat rembang petang.Dari lingkungan kita akan lihat bagaimana
astronomi berada dalam sejarah kuno masyarakat Indonesia.
Menurut Bambang Budi Utomo,
dari berbagai penemuan arkeologi terlihat juga bagaimana masyarakat setempat di
masa lalu menggunakan rasi sebagai sarana pemujaan. Hal ini terlihat dalam
Bejana Zodiak, MINTAQULBURUJ, yang digunakan oleh masyarakat Tengger. Tidak
hanya itu pembangunan candi-candi di masa lalu juga memiliki keterkaitan dengan
astronomi. Salah satunya adalah Borobudur yang diperkirakan juga dibangun
sebagai tanda tak telrihat lagi Polaris dari Jawa. Pada masa itu Polaris bisa
terlihat di horison, bintang yang saat ini tak mungkin kita lihat lagi karena
terjadinya presesi Bumi.
Kaitan astronomi dalam folklore juga dipaparkan oleh Sungging dalam acara ini. Bagaimana mitologi
berkembang di tengah masyarakat masa itu yang saat ini bisa digunakan sebagai
sarana pendidikan astronomi lewat budaya. Contohnya, mitologi tentang batara
kala yang menelan Matahari sehinga terjadi gerhana, atau bimasakti yang jadi
gambaran Bima masuk ke laut dan digigit ular.
Salah satu hal menarik
lainnya pada acara tersebut adalah pemetaan bintang berdasarkan kultur
Indonesia yang dilakukan oleh Widya Sawitar dari Planetarium Jakarta. Paparan
lebih lengkapnya akan ia sampaikan dalam poster paper di APRIM 2008.
Ada banyak hal menarik dalam
pertemuan tersebut yang membuat kita melihat satu bidang ilmu tidak bisa
diklaim tak punya manfaat atau diklaim bisa berdiri sendiri. Astronomi memiliki
keterkaitan erat bukan saja dengan fisika, kimia atau biologi tapi juga
sejarah, antropologi, arkeologi dan bahkan seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Di masa depan astronomi juga mengambil bagiannya sendiri dalam hal lingkungan
misalnya. Bahkan eksplorasi ruang angkasa yang dilakukan saat ini, teknologinya
bukan hanya digunakan ke luar angkasa tapi juga digunakan dalam kehidupan
masyarakat kita. Tentunya pada level dan skala yang berbeda.
Setelah pertemuan di Bosscha
pada tanggal 17 Mei 2008, pertemuan kedua dilaksanakan di prodi Astronomi pada
tanggal 30 Mei 2008 dan menghasilkan kesepakatan untuk membentuk asosiasi
langit gelap di Indonesia. Asosiasi ini bertujuan untuk mengajak masyarakat
mengkampanyekan langit gelap. Salah satu yang kita kenal adalah Earth Hour yang megajak masyarakat
mematikan lampu selama satu jam. Ini tidak hanya mengurangi polusi cahaya namun
juga dapat membantu mengurangi efek dari global
warming. Pengembangan astronomi dalam budaya Indonesia ini adalah langkah
awal karena tahun 2009, topik ini akan jadi salah satu acara dan pembahasan di
Indonesia dan di dunia.
Get notifications from this blog